Politik, ekonomi, dan sosial masa demokrasi liberal

1. Sosial pada Demokrasi Liberal

1. Kondisi Sosial Masyarakat
a. Kondisi Demografi
b. Antusiasme Rakyat dalam Politik

2. Kehidupan Pendidikan
a. Sisitem Pendidikan
b. Perguruan Tinggi

3. Kehidupan Budaya
a. Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia
b. Perkembangan Sastra
c. Kehidupan Pers

2. Dampak positif dan negatif
Keberhasilan :

Terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, dari program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.

Masalah :
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Dimana dalam Mutual Security Act (MSA) terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Masalah Irian Barat belum juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.

3. Peristiwa tanjung morawa
Latar belakang
        Peristiwa Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan petani yang hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang diperoleh sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati sebelumnya. Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk menggagalkan pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari pemerintah pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah golongan yang anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.


Kronologi Peristiwa
         Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera Timur merencanakan untuk mencetak sawah percontohan di bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian,Tanjung Morawa. Akan tetapi areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara mereka terdapat beberapa imigran gelap Cina. Usaha pemerintah untuk memindahkan para penggarap dengan memberi ganti rugi dan menyediakan lahan pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena cara musyawarah gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk menggagalkan usaha pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka bertindak brutal. Polisi melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha merebut senjata polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.

4. Penyebab terdapat koalisi antara PNI dengan NU dan oposisi masyumi
Pada tahun 1950-1959, keadaan politik di Indonesia sangat tidak stabil.  Perpecahan terjadi dikalangan elite politik. Tahta, jabatan, dan kekuasaan membuat Indonesia semakin terpuruk dalam kehidupan bernegara. Salah satu perpecahan yang ada terlihat dengan keluarnya NU dari Masyumi, dan NU nantinya membentuk partai sendiri. Adapun hal ini dikarenakan adanya kesenjangan dalam perebutan jabatan Menteri Agama. Selain itu ketidakharmonisan juga terlihat dalam hubungan PNI dan PSI. adanya aksi tuding menuding semakin gencar diarahkan satu sama lain.[8] Tidak hanya pada dunia politii, tapi juga dikalangan militer dan sebagainya terjadi kesenjagan yang tidak layak. Dan pada bulan Januari Hamengkubuwana IX mengundurkan diri dari Jabatan Menteri Pertahanan. Hal ini adalah wujud dari adanya pertikaian politik. Pada masa Kabinet Ali, masalah demikian merupakan bagian dari kegiatan kerja kabinet.

5. Kondisi rakyat saat pemilu pertama
kondisi pada saat akan diselenggarakan pemilihan umum, tentu ada masa kampanye untuk memperkenalkan calon dan progrm-programnya. Nah, dari sini kemudian partai politik mulai bergerilya ke daerah-daerah dan melakukan kampanye dengan berbagai cara kreatif. Nah, dalam kampanye yang dilakukan tersebut, tak jarang para jurkam membakar semangat para konstituen nya untuk memilih jagoan-jagoannya. Keadaan kemudian menjadi tidak stabil karena banyak muncul hasutan-hasutan yang membuat warga menjadi terbakar dan emosional. Keadaan seperti ini terjadi di daerah Pasirlangu (Cisarua, Cimahi), Jawa Barat. Beberapa keributan kecil di beberapa daerah terjadi, namun tidak sampai menjadi kerusuhan.

Menjelang Pemilihan umum pertama Indonesia, seorang yang diduga sebagai anggota PNI, kedapatan merobek-robek gambar Pancasila. Sedangkan pada gambar Pancasila tersebut pada bagian lainnya terdapat foto Bung Karno. Orang yang diduga anggota Partai Nasional Indonesia tersebut kemudian menginjak-injak foto Presiden Indoesia pertama tersebut. Kemudian orang tersebut segera diadukan kepada pihak yang berwajib.

"Melihat perbuatannya itu, segera oleh pihak yang berdekatan di situ mengadukannya ke pihak berwajib," kata sumber berita harian Pikiran Rakjat yang terbit pada 20 Agustus 1955.

Setelah dilakukan penelusuran oleh wartawan Pikiran Rakjat kala itu, orang yang melakukan penyobekan tersebut melakukan perbuatan itu karena kesal. Ia kesal dengan adanya syarat propaganda partai dalam Pemilihan Umum yang hal itu sudah tidak memperhatikan lagi cara-cara yang sopan dan santun. Bahkan sudah sangat jauh sekali dari adat ketimuran. Dari sini kemudian menimbulkan kemarahan dari rakyat yang sangat tidak terkendali.

6. Analisis geraka asaat
Gerakan Asaat adalah sebuah program ekonomi pemerintah Indonesia tahun 1950an yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pengusaha pribumi. Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pad aumumnya dan warga keturuan Cina pada khususnya.

Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.

7. Deklarasi djuanda yang berkaitan dengan batas teritorial dan munculnya PRRI/Permesta
Secara histories batas wilayah laut Indonesia telah dibuat oleh pemerintah colonial Belanda, yaitu dalam Territorial Zee Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939, yang menyatakan bahwa lebar wilayah laut Indonesia adalah tiga mil diukur dari garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Karenanya di antara ribuan pulau di Indonesia terdapat laut-laut bebas yang membahayakan kepentingan bangsa Indonesia sebagai Negara kesatuan.
Untuk mengatasi masalah di atas, pemerintah Indonesia dipimpin oleh PM Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 telah mengeluarkan keputusan yang dikenal dengan Deklarasi djuanda, yang isinya :
Demi kesatuan bangsa,Ä integritas wilayah, serta kesatuan ekonomi, ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titi-titik terluar dari pulau-pulau terluar.
Negara berdaulat atas segalaÄ perairan yang terletak dalam garis-garis pangkal lurus termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya serta ruang udara di atasnya, dengan segala kekayaan didalamnya.
Laut territorial seluas 12 mil diukur dari pulau yang terluar. Ä
Hak lintas damai kapal asingÄ melalui perairan Nusantara (archipelago watwrs) dijamin tidak merugikan kepentingan negara pantai, baik keamanan maupun ketertibannya.

Munculnya PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia adalah suatu reaksi dari bangsa Indonesia atasa ketidak puasan pada pemerintah pusat. Pergolakan pertama kali terjadi di Sumatra pada akhirnya 1956. Pada awal 1957, muncul Dewan Banteng di Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) dipimpin Letkol Ahmad Husein, Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin Kolonel M Simbolon dan Dewan Garuda di Sumatra Tengah dipimpin oleh Letkol Barlian kesemuanya tergabung dalam PRRI.

Dewan-dewan ini lahir sebagai reaksi dari situasi bangsa dan negara ketika itu. Awal pemberontakan PRRI di Sumatra Tengah terjadi menjelang pembentukan Republik Indonesia Serkat (RIS) pada tahun 1949. Penciutan Divisi Banteng pada Oktober 1949 menjadi satu brigade terdiri atas batalyon-batalyon besar di Sumatra Tengah. Akibatnya sejumlah prajurit terpaksa pulang kampung termasuk Ahmad Husein. Selain itu, pembangunan di Sumatra Tengah terasa sangat lambat dan menghadapi masalah.

Keadaan ini juga menggugah hati sejumlah perwira bekas Divisi Banteng yang masih bertugas. Selain itu juga menggugah berbagai tokoh politik dan sasta yang pernah bergabung dengan Divisi Banteng. Keprihatinan ini melahirkan gagasan mencari penyelesaian dengan mengadakan pertemuan pada 21 September 1956 di kompleks perumahan Persari milik Jamaludin Malik di Jakarta. Kemudian disusul dengan reuni di Padang 11 Oktober 1956 dan menyusul pertemuan-pertemuan yang lain. Reuni divisi Banteng ini menghasilkan keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah negara terutama perbaikan progressive di tubuh angkatan darat diantaranya adalah dengan menetapkan peabat-pejabat daerah yang jujur dan kreatif, menuntut agar diberi otonomi luas untuk daerah Sumatra tengah serta menuntut ditetapkannya eks Divisi Banteng Sumatra Tengah yang diciutkan menjadi kesatuan pelaksana Proklamasi sebagai satu korps dalam angkatan darat.

Pada tanggal 22 Desember 1956 Kolonel Simbolon pemimpin Dewan Gajah melalui RRI Medan mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan dengan pemerintah pusat. Ia mengubah nama kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan. Dia melihat pada permasalahan kesejahteraan danb perumahan prajurit yang sangat memprihatinkan. Karena keterbatasan dana dari pusat maka Kolonel Simbolon mencari jalan sendiri membangun asrama dan perumahan prajurit. Dia mencari dana sendiri namun sayang cara yang digunakan adalah cara illegal. Dia menjual secara illegal hasil perkebunan di wilayah Sumatra Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual melalui Teluk Nibungh di Muara Sungai Asahan Tanjung Balai. Namun, pers ibukota memberitakan penyulundupan itu dan kasad memerintahkan pemeriksaan pada ksus ini. Kasad pun bermaksud menggantikan panglima TT I Bukit Barisan dengan kolonel Lubis. Melihat situasi yang gawat, simbolon mengadakan rapat perwira yang disebut “Ikrar 4 Desember 1956”. Pada 27 Desember 1956 subuh, simbolon menerima berita ada pasukan yang diperintahkan menangkapnya. Dengan perlindungan dari Batalyon 132 dibawah Kapten Sinta Pohan, dia bergerak ke Tapanuli bergabung dengan Resimen III Mayor J Samosir.

Di Sumatra Selatan Dewan Garuda menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tokoh-tokoh militer di wilayah tersebut. Ini berlangsung menjelang Musyawarah Nasional September 1957 dan melahirkan Piagam Palembang sebagai dasar perjuangan bersama dari daerah-daerah bergolak. Namun sebenarnya dalam tubuh Dewan garuda terjadi keretakan. Dewan Garuda bersifat mendua. Ini disebabkan tokoh-tokoh militer masih berhubungan dengan kasad sehingga segala perkembangan Dewan garuda Dapat diketahui oleh pemerintah pusat di Jakarta. Tetapi dilain fihak Dewan Garuda juga memihak pada dewan Banteng. Keretakan ini juga mengakibatkan pada saat konflik bersenjata antara PRRI dengan pemerintash pusat Dewan Garuda memihak pada pemerintah Pusat.

PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI membentuk Kabinet baru, Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini berlangsung saat Persiden Soekarno sedang berada di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958 sebuah Dewan Perjuangan melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Persiden Soekarno agar “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut diantaranya adalah:
1. Supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya pada Persiden.
2. Agar pejabat persiden Sartono membentuk kabinet baru Zaken kabinet nasional yang bebas dari pengaruh komunis dibawah Mohammad Hatta dan Hamengkubuwono IX.
3. Agar kabinet baru diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilihan umum yang akan dating.
4. Agar Persiden Soekarno membetasi diri menurut konstitusi.
5. Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri.

Tuntutan-tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat. Reaksi dari PRRI adalah dengan mengumumkan pendirian Pemerintahan Tandingan yaitu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) lengkap dengan kabinetnya pada tanggal 15 Februari 1958. Susunan Kabinet PRRI adalah sebagai berikut:
1. Syarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Mentri dan Mentri Keuangan.
2. M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri.
3. Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman.
4. Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempat Sampah Praktis